Nasi Buwuhan Buah Tangan Pengikat Lidah

Minggu, 28 Juli 2019 - 09:17 WIB
Nasi Buwuhan Buah Tangan...
Nasi Buwuhan Buah Tangan Pengikat Lidah
A A A
BOJONEGORO - Nasi buwuhan merupakan kuliner khas Bojonegoro, Jawa Timur, yang sebelumnya hanya bisa diperoleh pada saat hajatan. Nasi ini menjadi “buah tangan” yang dibawa pulang dari acara pernikahan, sunatan, dan lain-lain yang digelar di rumah-rumah warga.

Tapi, itu dulu. Sekarang nasi buwuhan justru sudah menjadi makanan yang merakyat karena bisa disantap setiap hari. Rasanya yang khas dengan bahan-bahan asli Bojonegoro menjadi keunggulan tersendiri. Baik dari sayur yang dipilih maupun rempah yang dipakai untuk memunculkan aroma khas daerah pesisir utara (Pantura).

Nasi buwuhan berbentuk seperti lontong yang dibungkus dengan daun jati yang sudah didasari daun pisang. Dalam penyajiannya, nasi buwuhan mengandung buah pepaya muda atau blonceng ditambah kacang tolo yang dibumbu kuning tanpa santan, momoh tempe lombok, daging bumbu terik, dan serundeng kering yang ditaburkan di permukaan nasi.

Blonceng yang dipakai harus benar-benar muda sehingga tekstur yang tercipta dalam masakan tidak terlalu lembek. Kehadiran blonceng menguatkan cita rasa daun pepaya yang menegaskan warga Bojonegoro begitu peduli terhadap olahan sayur yang melimpah di berbagai wilayahnya.

Prapto, 60, warga Desa Sugihwaras, Bojonegoro, menuturkan bahwa nasi buwuhan merupakan warisan kuliner dari leluhurnya. Resep yang dipakai sudah menjadi bagian dari kehidupan sederhana masyarakat Bojonegoro. Citra itulah yang berpengaruh pada sisi rasa, tampilan, serta bahan yang dipakai pada nasi buwuhan. “Tak ada bahan baku yang kami beli di luar Bojonegoro. Semua bahan yang dipakai pada nasi buwuhan asli dari alam Bojonegoro,” ujar dia, Jumat (26/7).

Prapto melanjutnya, kunci kelezatan nasi buwuhan terletak pada kesegaran bahan baku yang dipakai. Blonceng masih segar, diambil dari kebun pepaya warga. Demikian juga dengan daun pepayanya, kacang tolo, sampai kelapa yang digunakan. “Daun jati juga kami ambil dari hutan jati yang bertebaran di sepanjang kampung di Bojonegoro,” ungkapnya.Racikan rempah di masing-masing rumah yang membuat nasi buwuhan berbeda. Prapto mengaku, menyukai rasa pedas yang diperoleh dari cabai dan merica tumbuk untuk mengeluarkan cita rasa yang khas. “Di rumah lain yang membuat nasi buwuhan ada yang rasanya manis dan tak begitu pedas,” sambungnya. Kini, nasi buwuhan tak hanya menjadi milik warga Bojonegoro.

Para wisatawan bisa menikmati menu tersebut di berbagai tempat, baik di kawasan wisata maupun di pojok-pojok kampung desa. Seperti menyambung cita rasa, warga Bojonegoro ingin membaginya kepada semua warga yang datang ke Kota Ledre. Lewat kesederhanaan dan harga kaki limanya, yang tak akan menguras isi dompet.

Bupati Bojonegoro Anna Muawanah menuturkan, nasi buwuhan tak hanya menjadi santapan yang dapat dinikmati di berbagai rumah ataupun jalanan di Bojonegoro. Lebih dari itu, nasi yang dibungkus daun jati ini telah menjadi ikon kebudayaan Bojonegoro, yang ditampilkan sebagai salah satu ikon kuliner Nusantara.

“Nasi buwuhan mendukung promosi Pinarak Bojonegoro yang sedang kami jalankan,” kata Anna. Dulu, lanjut Anna, nasi buwuhan hanya “tertahan” eksistensinya di rumah-rumah warga.

Resep yang dibangun tiap keluarga hanya menjadi santapan keluarga kecil mereka. Tradisi itu pun terbangun sejak ratusan tahun lalu dengan resep keluarga antarrumah tentu memiliki perbedaan. Nasi buwuhan juga menjadi simbol silaturahmi yang terus terjalin setiap saat. Kuliner ini menjadi buah tangan yang mampu merekatkan hubungan antarkeluarga, tetangga, teman sekolah, teman kerja, sampai persaudaraan jauh yang disajikan dalam alas daun jati.

“Tak hanya simbol, ini juga menjadi jati diri masyarakat kami yang ramah dan tetap mengedepankan silaturahmi,” jelasnya. Junior Rorimpandey atau yang akrab dipanggil Chef Juna menuturkan, masakan Nusantara selalu memiliki cita rasa tersendiri.

Termasuk juga nasi buwuhan Bojonegoro yang sudah menjadi kuliner lintas generasi. “Rasanya memang khas. Sayur blonceng itu yang membuat perbedaan. Mungkin di daerah lain ada olahan yang serupa, tapi tetap tak bisa disamakan,” ujar Chef Juna. Dia tak menampik bahwa nasi buwuhan di tiap rumah memiliki cita rasa yang berbeda. Sebab, tangan yang meracik bumbunya pun berbeda-beda.

Kondisi inilah yang memberikan pengaruh rasa antara satu nasi dengan yang lain. Secara tampilan, kata Chef Juna, irisan tempe dan daging saja yang harus disamakan. Selama ini model irisan dadu untuk tempe dan daging memang belum memiliki ukuran yang sama. “Pemakaian daun jati sebagai pembungkusnya pun membuat perbedaan dan cita rasa tersendiri. Ini unik dan bagus,” jelasnya.

Juri Master Chef Indonesia itu mengaku suka ketika datang ke berbagai daerah bisa mencicipi masakan khas daerah tersebut. Salah satunya nasi buwuhan yang ada di Kabupaten Bojonegoro. (Aan Haryono)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0777 seconds (0.1#10.140)